Kematian tragis seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diduga bunuh diri di Apartemen Pinewood Cikeruh, Jatinangor, Sumedang, yang diduga loncat dari lantai 27 pada selasa (19/11/2024). Baru-baru ini membuka kembali wacana tentang kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa masalah kesehatan mental bukanlah isu yang bisa dianggap remeh, apalagi di tengah lingkungan kampus yang seringkali terjebak dalam budaya kompetitif dan tekanan akademik yang sangat tinggi. Kasus seperti ini menggugah kita untuk menilai kembali bagaimana sistem pendidikan indonesia, khususnya di perguruan tinggi, memperlakukan kesehatan mental mahasiswanya.
Beban akademik yang berat, tuntutan untuk selalu berprestasi, serta ekspektasi sosial yang menuntut mahasiswa untuk tampil sempurna sering kali menciptakan tekanan luar biasa. Di tengah segala kewajiban dan harapan yang datang dari berbagai arah, mahasiswa sering kali merasa kesulitan untuk mengatur waktu, mengelola stres, dan memprioritaskan kesejahteraan mental mereka. Pada akhirnya, banyak yang merasa terperangkap dalam depresi, kecemasan, dan ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan mereka. Jika kondisi ini tidak mendapat perhatian yang serius, maka risiko terjadinya tindakan tragis seperti bunuh diri akan terus mengintai.
Sayangnya, kesehatan mental sering kali diabaikan, terutama di kalangan generasi muda. Mahasiswa sering kali merasa malu atau takut untuk mencari bantuan, khawatir akan dianggap lemah atau tidak mampu mengatasi masalah mereka sendiri. Hal ini diperburuk oleh kurangnya aksesibilitas dan keterbatasan layanan konseling di banyak kampus. Bahkan di perguruan tinggi yang memiliki fasilitas layanan psikologis, kapasitas yang tersedia sering kali tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang membutuhkan dukungan mental. Ini menjadi tantangan besar yang harus segera diatasi.
Kampus dan masyarakat di sekitar mahasiswa harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung kesehatan mental. Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah dengan memperluas akses ke layanan konseling yang lebih mudah untuk dijangkau, Kampus juga perlu memberikan pelatihan kepada para pengajar dan staf untuk mengenali tanda-tanda stres dan gangguan mental pada mahasiswa, sehingga mereka dapat memberikan dukungan yang tepat pada waktu yang tepat. Selain itu, penting juga untuk menumbuhkan budaya yang lebih terbuka dalam membicarakan kesehatan mental, sehingga mahasiswa merasa tidak sendirian dan tidak takut untuk mencari bantuan.
Dukungan terhadap kesehatan mental mahasiswa tidak hanya menjadi tanggung jawab Perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi jika kita semua berkomitmen untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kesehatan mental mahasiswa, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan produktif bagi generasi penerus bangsa. Kematian tragis ini seharusnya menjadi titik balik yang mendorong kita untuk bertindak lebih cepat dan lebih sigap dalam menangani masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa, karena tidak ada prestasi yang sebanding dengan kehidupan yang hilang.
Reporter : Rohimah Nurbaeti
No comments
Post a Comment