Sang surya mulai menyapa dunia dengan kehangatan sinarnya, tersipu malu. Pagi itu, di awal bulan Mei, aku berusaha memanjakan diriku dengan mengunjungi sebuah tempat yang sejuk nan menenangkan bagi setiap mata yang melihatnya. Udara pagi itu masih terasa dingin namun menyegarkan. Menikmati alam sendirian, rasanya ada yang kurang. Aku mengajak salah satu temanku.
Sepanjang jalan kami sungguh menikmati udara pagi. Candaan demi candaan terlontar saling berhadapan. Aku tersenyum, begitupun dia. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Kami telah sampai di tempat yang selama ini menjadi rencana dan tujuan kami. Tempat sejuk itu bernama Wayang Windu, yang terletak di Pangalengan, Bandung.
Kami masuk dengan antusias dan memang terasa seperti ada di dunia fantasi. Kebun teh berwarna hijau bersalaman dengan air embun yang bening murni, terlihat begitu segar dipandang mata. Kabut-kabut yang masih berjejeran tak beraturan di sekitar menambah suasana bak dalam dunia lain. Terdapat jembatan panjang yang tersusun dari rotan sebagai tempat untuk berjalan menikmati tempat tersebut. Langkah demi langkah tertuju ke sana. Kami berjalan dengan penuh kebahagiaan, melepas penat dan lelah. Tenang, itulah yang saat itu aku rasakan. Masalahku seolah terhempas tanpa sisa.
Angin berhembus dengan tiupan pelan, namun terasa di kulit. Terlihat beberapa orang di warung dekat kebun teh sedang menikmati minuman hangat seperti kopi dan teh. Tak lupa juga menyantap makanan seperti bakwan dan tempe mendoan sebagai pendukung suasana asri ini. Jepret! Jepret! Suara kamera gawai Mita terdengar. Nampaknya dia sedang memotret sekitar. Selepas itu, aku mengajaknya untuk berfoto bersama.
"Mita sini kita foto bersama," ucapku. Dia setuju dengan apa yang kukatakan. Akhirnya kami berfoto bersama. Tak lupa kami menjelajahi kebun teh dengan berjalan santai sambil berbincang manis. Sampai pada suatu tempat, kami menemukan sebuah cermin besar terpampang bertuliskan "Mirror Selfie". Tidak usah ditanya, aku rasa kalian tahu apa itu mirror selfie, apalagi di kalangan para milenial. Berfoto di depan cermin menggunakan gawai sendiri agar terlihat di cermin seperti berbalik arah. Mita berkata "Hey aku melihat mirror selfie disana, ayo kita memotret kebersamaan," ujarnya. Aku bersemangat seraya menjawab "Okay, let's go!".
Wisata kebun teh Wayang Windu yang terletak di Pangalengan ini sudah cukup terkenal. Suhu pagi di sini bisa tembus hingga 16°C. Tak heran, semua orang yang datang ke tempat ini akan merasakan dingin yang menusuk ke badan. Apalagi orang dari luar kota yang niat datang untuk berwisata ke sini. Mereka akan merasakan suhu dingin yang tidak biasa karena belum terbiasa. Dalam bahasa Sunda, dingin sering disebut dengan istilah "tiris". Karena letaknya ada di Kota Bandung, orang-orang lebih membumbui kata tersebut dengan istilah " Bandung tiris".
Waktu berjalan menuju siang, suhu mulai terasa sedikit memanas. Kami berusaha beristirahat setelah selesai menikmati alam sejak pagi. Kami membeli minum dan makanan, menyantap seraya melihat sekitar. Ternyata, membuat pikiran tenang tidak selalu dilakukan di tempat riuh, melepaskan seluruh isi kekecewaan dengan banyak berbicara. Cukup diam menikmati alam adalah seni sederhana dalam terapi menenangkan pikiran, tapi itu kembali kepada kesenangan masing-masing.
Usai sudah cerita hari itu, kami tutup dengan senyuman sebagai bentuk kesenangan. Hari itu begitu menyenangkan. Karena sang surya telah naik di tengah-tengah langit. Kita akhirnya memutuskan untuk pulang.
Penulis : Suci Resti Fauziah
Sepanjang jalan kami sungguh menikmati udara pagi. Candaan demi candaan terlontar saling berhadapan. Aku tersenyum, begitupun dia. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Kami telah sampai di tempat yang selama ini menjadi rencana dan tujuan kami. Tempat sejuk itu bernama Wayang Windu, yang terletak di Pangalengan, Bandung.
Kami masuk dengan antusias dan memang terasa seperti ada di dunia fantasi. Kebun teh berwarna hijau bersalaman dengan air embun yang bening murni, terlihat begitu segar dipandang mata. Kabut-kabut yang masih berjejeran tak beraturan di sekitar menambah suasana bak dalam dunia lain. Terdapat jembatan panjang yang tersusun dari rotan sebagai tempat untuk berjalan menikmati tempat tersebut. Langkah demi langkah tertuju ke sana. Kami berjalan dengan penuh kebahagiaan, melepas penat dan lelah. Tenang, itulah yang saat itu aku rasakan. Masalahku seolah terhempas tanpa sisa.
Angin berhembus dengan tiupan pelan, namun terasa di kulit. Terlihat beberapa orang di warung dekat kebun teh sedang menikmati minuman hangat seperti kopi dan teh. Tak lupa juga menyantap makanan seperti bakwan dan tempe mendoan sebagai pendukung suasana asri ini. Jepret! Jepret! Suara kamera gawai Mita terdengar. Nampaknya dia sedang memotret sekitar. Selepas itu, aku mengajaknya untuk berfoto bersama.
"Mita sini kita foto bersama," ucapku. Dia setuju dengan apa yang kukatakan. Akhirnya kami berfoto bersama. Tak lupa kami menjelajahi kebun teh dengan berjalan santai sambil berbincang manis. Sampai pada suatu tempat, kami menemukan sebuah cermin besar terpampang bertuliskan "Mirror Selfie". Tidak usah ditanya, aku rasa kalian tahu apa itu mirror selfie, apalagi di kalangan para milenial. Berfoto di depan cermin menggunakan gawai sendiri agar terlihat di cermin seperti berbalik arah. Mita berkata "Hey aku melihat mirror selfie disana, ayo kita memotret kebersamaan," ujarnya. Aku bersemangat seraya menjawab "Okay, let's go!".
Wisata kebun teh Wayang Windu yang terletak di Pangalengan ini sudah cukup terkenal. Suhu pagi di sini bisa tembus hingga 16°C. Tak heran, semua orang yang datang ke tempat ini akan merasakan dingin yang menusuk ke badan. Apalagi orang dari luar kota yang niat datang untuk berwisata ke sini. Mereka akan merasakan suhu dingin yang tidak biasa karena belum terbiasa. Dalam bahasa Sunda, dingin sering disebut dengan istilah "tiris". Karena letaknya ada di Kota Bandung, orang-orang lebih membumbui kata tersebut dengan istilah " Bandung tiris".
Waktu berjalan menuju siang, suhu mulai terasa sedikit memanas. Kami berusaha beristirahat setelah selesai menikmati alam sejak pagi. Kami membeli minum dan makanan, menyantap seraya melihat sekitar. Ternyata, membuat pikiran tenang tidak selalu dilakukan di tempat riuh, melepaskan seluruh isi kekecewaan dengan banyak berbicara. Cukup diam menikmati alam adalah seni sederhana dalam terapi menenangkan pikiran, tapi itu kembali kepada kesenangan masing-masing.
Usai sudah cerita hari itu, kami tutup dengan senyuman sebagai bentuk kesenangan. Hari itu begitu menyenangkan. Karena sang surya telah naik di tengah-tengah langit. Kita akhirnya memutuskan untuk pulang.
Penulis : Suci Resti Fauziah
No comments
Post a Comment