Sumber Gambar: antaranews.com
Matahari mulai meninggi, perlahan mengeringkan embun pagi yang menyelimuti dedaunan. Seiring dengan langkah kaki kami yang semakin menjauh dari hiruk pikuk kota, hati saya terasa semakin tenang. Udara sejuk khas pegunungan menyambut hangat kedatangan kami. Konon, di balik rimbunnya pepohonan dan lembah yang hijau, tersembunyi sebuah permata budaya yang tak ternilai, Kampung Naga. Dengan semangat bertualang, kami pun mulai menapaki 439 anak tangga yang menuntun kami ke sebuah lembah yang diyakini menyimpan pesona alam yang memukau.
Matahari mulai meninggi, perlahan mengeringkan embun pagi yang menyelimuti dedaunan. Seiring dengan langkah kaki kami yang semakin menjauh dari hiruk pikuk kota, hati saya terasa semakin tenang. Udara sejuk khas pegunungan menyambut hangat kedatangan kami. Konon, di balik rimbunnya pepohonan dan lembah yang hijau, tersembunyi sebuah permata budaya yang tak ternilai, Kampung Naga. Dengan semangat bertualang, kami pun mulai menapaki 439 anak tangga yang menuntun kami ke sebuah lembah yang diyakini menyimpan pesona alam yang memukau.
Setibanya di Kampung Naga, kami disambut oleh keindahan alam yang memanjakan mata. Bukit-bukit hijau menjulang dari kejauhan, sementara sungai kecil mengalir tenang di antara pemukiman penduduk. Rumah-rumah panggung dengan arsitektur yang khas berdiri kokoh di atas tanah yang datar. Pondasi batu tanpa semen dan atap ijuk menjadi ciri khas bangunan di kampung ini. Jauh dari hiruk pikuk kota, kehidupan di Kampung Naga terasa begitu sederhana dan damai. Setiap sudut kampung seolah mengajak kami untuk merenung dan menghargai keindahan alam.
Ternyata, cukup banyak orang yang berdatangan kemari untuk hanya sekedar merehatkan pikiran atau belajar lebih banyak tentang budaya dan tradisi Sunda yang berlaku di Kampung Naga. Beberapa dari mereka datang bersama rekan atau keluarganya untuk menjelajahi Kampung Naga dari sudut ke sudut. Disini kami dipandu oleh ketua adat Kampung Naga yang bertugas untuk mengurus dan mengawasi segala hal yang ada di Kampung Naga.
"Ka palih dieu," ucap kepala adat sembari menunjuk ke arah kediamannya. Dengan rasa penasaran, kami mengikuti kepala adat yang tampak bersemangat menceritakan tentang hukum adat Kampung Naga selama perjalanan.
Selagi mendengarkan penjelasannya saya merasa takjub dengan pernyataannya bahwa masyarakat Kampung Naga masih mempertahankan budaya dan adat istiadat yang menjadi warisan leluhur mereka. Di zaman modern ini, listrik dan gadget seakan menjadi kebutuhan primer, namun masyarakat Kampung Naga masih menggunakan lampu-lampu petromaks yang tergantung di dinding rumah mereka. Sungguh kontras yang menarik! Masyarakat Kampung Naga juga tidak diperbolehkan memakai gadget, smartphone dan alat elektronik lainnya di dalam Kampung Naga. Keputusan mereka untuk hidup tanpa teknologi modern ini membuat saya merenung tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian budaya.
Perjalanan kami terus berlanjut. Di sepanjang jalan, kami disambut hangat oleh warga sekitar yang sedang menjemur padi yang mereka panen. Sementara itu di halaman belakang rumah-rumah, terlihat warga sibuk mengurus puluhan ekor ayam kampung dan itik.
Kali ini kami diarahkan ke tempat penjualan oleh-oleh khas Kampung Naga. Beragam kerajinan tangan lokal dipajang di sana. Menurut teman saya, kerajinan tangan menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi masyarakat Kampung Naga. Mereka sangat kreatif dalam membuat aneka kerajinan, mulai dari bakul nasi tradisional, tas dari batok kelapa dan anyaman, lukisan, hingga berbagai produk lainnya.
Langkah kaki kami terasa berat meninggalkan Kampung Naga. Namun, kelelahan ini seketika sirna begitu mengingat betapa kayanya pengalaman yang kami dapatkan. Kampung Naga bukan sekadar destinasi wisata, melainkan jendela waktu yang membawa kami menjelajahi kekayaan alam dan budaya Sunda yang masih asli.
Reporter: Yunita Nuraida
No comments
Post a Comment